Vertical Menu
Quick List
Create Wishlist
Hot Offer
Follow Us
Blogroll
About
Blogger templates
Blogger news
Diberdayakan oleh Blogger.
Popular Post
-
Gerakan Awal PKI Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914 , dengan nama Indische Sociaal...
About Me
- Einzazel
Followers
Jumat, 28 September 2012
Gerakan Awal PKI
Partai ini didirikan atas inisiatif
tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai
sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai
Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda
Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang
berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada
perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang
dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya
mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang
beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang
disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang
(Mei
1920),
nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaoen
diangkat sebagai ketua partai.
Pada 1924 nama
partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).
GERAKAN
PKI AWAL KEMERDEKAAN
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 Partai Komunis
Indonesia (PKI) merupakan partai politik pertama melakukan makar di berbagai
daerah di utara Jawa Tengah¹ dan puncaknya terjadi pada 1948 di Madiun dan
sekitarnya. Infiltrasi yang dilakukan PKI dalam berbagai kehidupan negara dan
masyarakat menjadikan partai tersebut menjadi partai besar dengan pengikut
fanatik dan revolusioner. Hanya dalam dalam waktu kurang lebih tiga tahun sejak
Proklamasi Kemerdekaan, mereka mampu mengadakan usaha perebutan
kekuasaanterhadap Pemerintahan Republik Indonesia (RI). Pemerintah RI yang
sedang menghadapi Agresi Militer Belanda dimanfaat secara baik oleh PKI dengan
melakukan ‘tikaman dari dalam’ yang dikenal dengan Madiun Affair. Hanya karena
ketergesaan kelompok mudanya, segala rencana PKI dapat digagalkan pihak
pemerintah. Sehingga pemberontakan PKI 1948 dapat dikatakan pemberontakan
prematur.
3.
Terbentuknya FDR
Keluarnya Sjahrir dari Partai Sosialis di satu
pihak menguntungkan, tetapi di lain pihak sangat merugikan Amir sendiri, karena
anggota-anggota KNIP dan BPKNIP banyak memihak Sjahrir, meskipun sebagian besar
massa anggotanya banyak mendukungh Amir, termasuk Pesindo. Untuk memperkuat
kedudukannya, pada 26 Februari 1948 5 di Solo, Amir Sjarifuddin membentuk FDR
(Front Demokrasi Rakyat) yang mempersatukan Partai Sosialis, Partai Buruh
Indonesia(PBI), PKI, Pesindo, dan Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan RI)
(Moedjanto, 1993:31). Amir dengan FDR-nya menjadi kelompok oposisi bagi
Pemerintahan Hatta, yang menuntut pembubaran Kabinet Hatta dan segera dibentuk
kabinet parlementer dimana wakil-wakil FDR diikutsertakan dengan menduduki
kursi-kursi penting. Tentu pengajuan ini ditolak mentah-mentah oleh Hatta,
sehingga Amir sedikit terpukul dari penolakan tersebut.
4.
Kedatangan Muso
Pada 11 Agustus 1948, seorang tokoh besar PKI 1926,
Muso, tiba di Indonesia setelah 22 tahun berada di Moskow. Muso yang mengaku
Suparto, Sekretaris Suripno, Dubes RI di Cekoslovakia, datang melalui Bukit
Tinggi dan langsung terbang ke Yogyakarta menemui Soekarno, teman lamanya.
Kehadiran Muso dianggap sebagai ‘Nabi’ oleh pendukungnya, dalam waktu relaif
singkat dapat menghimpun massa di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Amir
Sjarifuddin yang merasa tersisih, segera mau tidak mau menggabungkan diri
dengan Muso “Sang Nabi Baru’. Ketika itulah amir mengakui bahwa ia sudah
menjadi anggota komunis ilegal sejak 1935 (Abdullah, Taufik dkk.(Red.),
1988:211). Kehadiran Muso merubah gerakan sosial-radikal menjadi Komunismenya
Stalin dan mengatakan bahwa proklamasi menempuh jalan yang salah
5.
Program RERA
Sesungguhnya program Rera (Rekonstruksi dan Rasionalisasi)
sudah jauh-jauh hari diajukan Zainul Baharuddin, seorang pendukung Amir, pada
20 Desember 1947 kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP),
yang bersi agar Angkatan Bersenjata ditempatkan sepenuhnya dibawah wewenang
Menteri Pertahanan, kekuatan tentara dikurangi dan para veteran supaya
dipekerjakan dalam pemerintahan (Sundhaussen, 1988:64). Amir Sjarifuddin ketika
itu sebagai Perdana Menteri (PM) sekaligus Menteri Pertahanan menyetujui usulan
tersebut, karena akan menguntungkan kedudukannyadan kepentingan golongannya.
Dengan Rera otomatis tentara akan berkurang jumlahnya sehingga akan mengurangi
akan mengurangi kendala yang akan dihadapi. Akan tetapi Amir jatuh dari
jabatannya dan jabatan PM dijabat oleh Mohammad Hatta. Hatta segera meneruskan
program Rera tersebut terutama pada pasukan-pasukan yang berhaluan Kiri. Karena
tujuan Rera berbalik mengancam kedudukannya, maka Amir balik menentang dengan
keras program tersebut. Rera Angkatan Peang dilaksanakan pada Maret 1948 setelah
dikeluarkan UU No. 3/1948. Ketika Rera ini dilaksanakan di tubuh Divisi
IV/Panembahan Senopati, Surakarta, pimpinannya menolak dengan keras. Ini
merupakan awal dari sengketa antara golongan pro pemerintah dengan golongan pro
FDR/PKI (Nugraha, 1991:34). Diantara mereka terjadi pertempuran kecil-kecilan
dan saling menculik para perwiranya masing-masing oleh pihak lawan. Puncaknya
adalah ketika markas besar Pesindo diserang oleh Barisan Banteng, golongan pro
pemerintah, pada 16 September 1948. Besoknya Pemerintah mengumumkan keadaan
darurat di Surakarta dan diangkat Kolonel Gaot Subroto sebagai Gubernur Militer
daerah tersebut. Golongan pro FDR/PKI mengalami kekalahan telak dan harus
mundur ke Madiun, sebagai basis terakhir pasukan FDR/PKI.
6. Pemberontakan Komunis (Madiun)
Pemberontakan
dimulai pukul 03.00 dini hari dengan ditandai sebuah letusan pistol di udara
Madiun. Sesungguhnya pemberontakan ini merupakan lanjutan permusuhan militer
komunis dengan militer pemerintah. Keterdesakan militer komunis oleh pasukan
Siliwangi dan Brigade Polisi menghadapkan PKI pada dua pilihan, yaitu patuh
pada pemerintah dengan melaksanakan Rera dalam pasukannya yang berakibat
kehilangan kekuatan militernya yang cukup besar, atau membangkang kepada
pemerintah yang berarti harus menghadpi pasukan pemerinah. Pilihan pertama
tampaknya tidak mungkin dilaksanakan karena akan mengganggu perjuangan PKI
selanjutnya. Oleh karena itu mereka memilih yang kedua karena ada perhiungan
untuk menang (Nugraha, 1991:80-81). Walaupun pilihan tersebut dilakukan militer
komunis dan akan mengadakan serangan besar-besaran terhadap pemerintah pada 18
September 1948, bukan berarti pemberontakan tersebut dilakukan oleh militer
komunis. Kalau kita mengatakan dilakukan militer komunis, tentunya pemberontakan
tersebut sudah dilaksanakan ketika terjadi bentrokkan senjata sebelum tanggal
18 September 1948 antara pasukan FDR/PKI dengan pasukan pemerintah. Mereka
melaksanakan tanggal 18 September, karena sehari sebelumnya diharuskan memilih
dari dua pilihan, sehingga pada 18 September dilancarkan untuk menahan laju
pasukan pemerintah yang sudah berada di pinggir Madiun. Sementara massa FDR/PKI
sejak 17 September 1948 memulai makarnya dengan mengadakan
penculikan-penculikan para kyai di Pesantren Takeran, Magetan (Maksum et al,
1990:16-21). Karena dimulainya serangan besar-besaran oleh militer komunis pada
18 September 1948, maka dengan terpaksa golongan sipil FDR/PKI ikut serta di
dalamnya. Muso dan Amir segera memproklamirkan Negara Republik Soviet Indonesia
dan massa FDR/PKI lainnya segera memulai aksi-aksi kejinya yang sebetulnya
sudah dilaksanakan sebelum tanggal 18 September. Madiun sebagai tempat
pemberontakan berlangsung sudah jauh-jauh hari ditentukan dalam dokumen-dokumen
yang ditemukan di rumah Amir Sjarifuddin. Madiun disebut-sebut sebagai basis
perang gerilya untuk perjuangan jangka panjang (Maksum et al, 1990:14)
Tujuan pemberontakan ini adalah
meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini
beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang
dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat
marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman
memerintahkan Kolonel Gatot Subroto
di Jawa Tengah
dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan
pemberontakan PKI. Pada 30 September
1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan
Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Bangkit kembali
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan
organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat
dan Bintang
Merah. Pada 1950-an, PKI
mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit,
dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil
oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk
pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia
lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari
sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165
000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959
Pada Agustus 1951, PKI memimpin
serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas
terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah
tanah untuk sementara waktu.
Pemilu 1955
Pada Pemilu 1955,
PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini
memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di
Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang
dengan granat. Pada
bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di
beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara
terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5].
Pada 3 Desember
1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI,
mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis
nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan
melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri
sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno
yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka
juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950,
selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusar dan daerah
menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi,
mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner
ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah
kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan
ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya
berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun
demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno
sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang
merupakan singkatan dari Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme.
Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan.
PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya
sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
|
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit
dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat
dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan
sebuah Konfederasi
Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan
oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para
anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam
pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia.
Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di
sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
Gerakan 30 September
Dari
tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan
semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian"
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Sejak tahun 1964 sampai menjelang
meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan
jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI
untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
Alasan
utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan
apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat
terhadap Presiden Sukarno“.
Aktivitas PKI dirasakan oleh
kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski
pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar
misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“ terutama
yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria
yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan
istilah "7 setan desa“ serta serangan-serangan terhadap
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada
"kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nyaadalah pertanda
meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap
bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Anggapan bahwa partai ini
berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan
jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan
untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei
1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara
sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Peristiwa
Peristiwa
Pada 30 September 1965, enam jendral
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan
kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat
itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat
itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Korban
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
• Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
• Mayjen TNI R. Suprapto
• Mayjen TNI M.T. Haryono
• Mayjen TNI Siswondo Parman
• Brigjen TNI DI Panjaitan
• Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga
disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH
Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya
juga turut menjadi korban:
• AIP Karel Satsuit Tubun
• Brigjen Katamso Darmokusumo
• Kolonel Sugiono L
• AIP Karel Satsuit Tubun
• Brigjen Katamso Darmokusumo
• Kolonel Sugiono L
Para korban tersebut kemudian
dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang
Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pasca kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno
dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim
di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno
mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu
persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua
di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala
kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan
orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen
Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari
Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas
Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir
usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30
September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Lima bulan setelah itu, pada tanggal
11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat
Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan
untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur
militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar
menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri,
ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya
diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa
ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota
dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta
orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari
Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan
atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar
di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka
yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh
teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar
pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina" terjadi. Pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas
kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30
September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari
berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa
pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal
30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera
di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga
di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi
bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga
yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
Label:IPS,KOmunis,SEJARAH | 0
komentar
Langganan:
Postingan
(Atom)